Hari
demi hari Ni Sumi masih seperti itu, setiap harinya ia habiskan dengan duduk
pada kursi tua di beranda rumahnya. Wanita tua yang hampir seluruh rambutnya sudah memutih ini
tak hentinya menatap pintu pagar rumahnya. Sorotnya lelah menahan pilu. Wajah keriput
itu nampak lebih gelap. Kini ke dua matanya bak lahar yang siap tuk menyembur,
dan byurr.. menjadi bulir bulir yang deras mengalir.
Ni
Sumi tinggal di sebuah rumah tua yang sudah tak layak huni, lantainya yang retak
sering kali membuat telapak kaki Ni Sumi terluka, belum lagi jika hujan Ni sumi
pasti kerepotan menyimpan ember dan panci disana sini untuk menahan genangan
air dari atapnya yang bocor.
Dari
sudut sana terlihat bocah yang sedang membuat adonan donat, ia aduk semuanya
jadi satu; terigu, telur, gula dan bahan lainnya, ia nampak sangat lihai. Sesekali
ia alihkan pandangannya pada Ni Sumi yang sedang melamun. Sebenarnya sudah tak
aneh bagi Cecep, bocah berusia 12 tahun itu melihat tingkah wanita tua itu.
namun bukan itu yang ada dalam benaknya, ada kekhawatiran Ni Sumi pergi lagi dari
rumah, atau lebih tepatnya kabur dari rumah. Tepat seminggu yang lalu, dini
hari sekali, Ni Sumi sudah tak ada di kamarnya. Rumah mereka takan cukup untuk
menyembunyikan sosoknya, satu arah mata saja sudah tampak seisi rumah.
Ni
Sumi pergi untuk mencari anak yang tak tau diri itu, begitulah sebutan warga
kampung untuk Bambang anak Ni Sumi itu,
padahal dari kecil Ni Sumi sangat memanjakan anak semata wayangnya itu.
Untunglah Pak Dadang yang hendak ke pasar melihat Ni Sumi yang akan naik elf
Cikijing-Bandung. Berita terakhir tentang Bambang anaknya itu memang bekerja di
Bandung, tapi itu sudah dua tahun yang lalu.
Sepuluh tahun yang lalu Bambang pamit pada
ibunya untuk mengadu nasib di kota, berharap kehidupannya akan lebih baik, Ni
Sumi dari awal tidak setuju dengan rencana anaknya itu, namun Bambang terus
memaksa, ia berjanji akan selalu mengabari ibunya, dan pada akhirnya Ni Sumi
tak bisa berbuat apa-apa terhadap keinginan Bambang itu.
Bulan pertama Bambang rajin mengirim kabar
kepada Ni Sumi, melewati Pak Asep salah satu warga yang memiliki alat
komunikasi, Ni Sumi sangat bahagia, walaupun sebenarnya ia lebih bahagia jika
anaknya selalu disisinya.
Bulan kedua Bambang menjadi jarang memberi
kabar, alasannya ia sangat sibuk mengurusi pekerjaannya. Hingga bulan ketiga ia
jadi tak pernah mengabari Ni Sumi lagi, bahkan saat hari lebaran pun ia tak
pernah pulang. Ni Sumi jadi sering sakit-sakitan dibuatnya.
Kerinduan Ni Sumi terhadap Bambang makin
membuncah, puncaknya adalah 2 tahun yang lalu, Ni Sumi mengamuk tak jelas,
meriung-riung bak orang yang sedang disiksa, semua orang mengkerubuni Ni Sumi,
melihat Ni Sumi penuh dengan iba. Semenjak kepergian anaknya, tak pernah ada
lagi lengkungan senyum di bibir Ni Sumi, rasanya ia sudah lupa bagaimana cara
tersenyum.
“Ni..
emam heula nya” “ Nek, makan dulu ya” ucap Cecep pada Ni Sumi, namun seperti
biasanya, Ni Sumi hanya berkomunikasi menggunakan isyarat saja, mengangguk-anggukan
kepalanya tanda setuju dan menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak setuju, tak
ada ekspresi lebih dari itu. Lidahnya kaku, bibirnya kelu selama 10 tahun.
Mereka
tinggal berdua di rumah ini, sebenarnya Cecep bukan siapa-siapa, tak ada ikatan
darah sama sekali diantara mereka. Cecep hanyalah anak yatim piatu dan tak
punya keluarga selain ke dua orang tuanya. Ibunya meninggal lebih dulu saat
melahirkan Cecep dan kemudian bapaknya meninggal karena kecelakaan lalu lintas.
Saat
Bapaknya meninggal tak ada satu warga pun yang bersedia mengurus Cecep, memang
tak aneh jika mereka menolak untuk mengurus Cecep karena kebanyakan dari mereka
sudah beranak lebih dari tiga dengan keadaan ekonomi yang serba kekurangan.
Warga
kampung mengusulkan agar Cecep dititipkan ke panti asuhan saja, Cecep yang baru
berumur tujuh tahun itu tak berkutit, toh ia hanya anak kecil yang tak tau
apa-apa, menangispun ia malu, semua orang yang berkumpul di hadapannya hanyalah
orang asing baginya. Di sudut rumahnya ia menahan sesak, dadanya perih, seperti
di hantam pisau berkali-kali, bibirnya gemetar, tubuhnya lungsai. Ia hanya
butuh pelukan saat ini, bukan.. bukan celoteh-celoteh yang katanya peduli akannya,
nyatanya tidak, mereka hanya tidak ingin terbebani dengan membawa Cecep ke
rumah mereka.
Dari
arah pintu masuk datang seorang janda tua, ia lewati kumpulan orang yang mengaku
peduli akan Cecep, ia hampiri bocah malang itu. Ni sumi menggendong Cecep yang
sedang duduk menunduk di sudut rumahnya, orang-orang keheranan melihat
tingkahnya, wanita tua itu membawa Cecep
pergi. Warga pun tak bisa mencegah apa yang dilakukan Ni Sumi hari itu,
nyatanya tak ada yang berani mengurus anak yatim piatu itu kecuali janda tua
itu.
“Ni aaaaa ni” “Nek aaaaaa nek”
Tingkah
Cecep menyuapi wanita tua itu, bak seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya.
“Ni,
engke mun tabungan Cecep tos seuer, Cecep meser acuk kanggo Nini, nu sae pisan”
“Nek, nati kalau tabungan Cecep udah banyak Cecep beli baju buat Nenek, yang
bagus banget”
Ni Sumi
menggelengkan kepala tanda ia tak setuju dengan usul Cecep kali ini
“Kunaon
Ni? Kan supaya Nini teh tambah geulis pisan.” “Kenapa nek? Kan supaya Nenek tambah
cantik” terlihat lengkungan senyum di
bibir Cecep hingga jelas lesung pipinya.
Ni
sumi menggelengkan kepalanya lebih cepat, tanda ia sangat tidak setuju.
“Terus Nini hoyong naon atuh? kan cecep teh hoyong Nini bungah” “Terus
Nenek pengen apa dong? Cecep pengen Nenek bahagia”
Jika
ia mau bicara, tak ada yang lebih bahagia bagi Ni Sumi selain bertemu anak
semata wayangnya yang selama 10 tahun tak pulang.
Ni
Sumi beranjak dari kursinya, memasuki kamar kecilnya. Matahari sudah sembunyi
dari tadi, seisi bumi menjadi gelap, namun karenanya dunia terlihat lebih
indah, kita dapat melihat kilauan bintang, dan bersyukur dengan adanya sinaran
bulan.
Ni
Sumi membaringkan tubuhnya, ke dua matanya menatap langit-langit kamarnya. Menakjubkan,
ini lebih indah.. benda langit itu nampak lebih dekat. Sinarnya tepat dimatanya,
tapi semakin lama semuanya terlihat remang-remang, perih, berat, dan gelap. Kini ia berharap menemukan dunia adalah indah.
Batuk
Ni Sumi makin menjadi, Cecep tak tega melihat Ni sumi, batuknya tak
henti-henti, nampak wanita itu sudah sangat kelelahan. Cecep segera mencari
obat batuk di rumahnya, ternyata sudah habis.
Cecep kebingunan, Ni Sumi sudah sangat
kelelahan. Ia raba saku celananya, ia keluarkan, didapatinya uang recehan Rp.
5.200, Cecep lupa uang hasil jualannya tadi sudah ia belikan bahan adonan untuk
membuat donat besok.
Cecep membawa celengan yang ia sembunyikan di
bawah ranjangnya. Untung saja ia membenarkan kata Ni Sumi agar tak beli baju.
Karena kebutuhan tak cukup di situ saja. Begitupun Cecep, ia mempunyai prinsip
hidup tak mau tergantung pada orang lain. Cecep segera memecahkan celengan ayam
yang sudah terisi penuh itu, jelas berat terisi oleh uang recehan. Sudah satu
tahun Cecep menabung, uangnya sudah lumayan banyak.
Dengan tergesa Cecep mengantongi seluruh uang
recehnya dan segera pergi ke apotek setelah menerima izin dari Ni Sumi.
Sudah pukul 23.40 Cecep tak kunjung pulang padahal
ia sudah berangkat dari tiga jam yang lalu, Ni Sumi sangat khawatir dengan
Cecep, apalagi ini sudah sangat malam, jalanan sangat sepi, bagaimana jika
terjadi sesuatu padanya, begitulah kecemasan di hati Ni Sumi.
. “Buruken
aya nu katabrak budak lalaki” “Cepetan ada yang ke tabrak anak lelaki” Teriakan
seorang bapak membangunkan warga yang masih terlelap. Sekelompok warga
berlarian menuju arah jalan.
“Di
tabrak ku trek badag” “Di tabrak sama truk besar”
Obrolan
seorang ibu yang datang dari arah jalan.
Udara
malam kian menggigil. Malam yang hening itu berubah seketika, terdengar suara-suara
istigfar di setiap sudut.
Tidak..
tidak.. !! Ni Sumi mulai menghapus semua yang berotasi pada pikirannya, dirinya
mulai tak tenang, dadanya sesak.
Seketika
wajahnya terlintas dalam bayang Ni Sumi. Senyum bocah polos itu, lesung
pipinya. Lututnya yang lemah seketika terjatuh pada lantai. Dari kejauhan seorang
bapak berbadan besar memboyong anak yang bermandikan darah menuju arahnya, jeritan
istigfar itu semakin keras, bapak itu semakin mendekat, baju yang dikenakan bocah itu sudah tak asing
bagi Ni Sumi.
“ceceeeeep...”
teriak Ni sumi
“ Ni..
Nini.. Kunaon Ni..” “Nek.. Nenek.. Kenapa Nek” Suara Cecep di sebelahnya, matanya
masih remang-remang, Cecep berada tepat di dekatnya, Ni Sumi melihat seluruh tubuh
Cecep, tak ada satu bagian tubuhnya yang hilang, bahkan tak ada goresan luka
sedikitpun pada kulitnya.
“ Nini
kunaon..?” ”Nenek kenapa..?”
Hening
Ni
Sumi masih pada kasurnya.
“Nini
teh nyaah pisan ka Cecep, Cecep tong ninggalken Nini nyaa..” “ Nenek sayang banget
sama Cecep, Cecep jangan ninggalin Nenek yaa..”
“Insya Allah ni, Cecep oge nyaah pisan ka nini.. “ “Insya Allah Nek,
Cecep juga sayang banget sama Nenek”
“Cep..
Cecep teh hadiah terindah nu gusti Allah pasih ka Nini, walau Cecep sanes darah
daging Nini, tapi Cecep lahir ti hate Nini” “ Cep.. Cecep itu hadiah terindah
yang Allah kasih untuk Nenek, walaupun Cecep bukan darah daging Nenek, tapi
Cecep lahir dari hati Nenek”
Bibir
yang kaku itu, kini tersenyum. Dua titik gelembung dari sudut matanya itu keluar
lagi, namun dengan rasa yang berbeda, bahagia. Milyaran kata yang sempat
terpendam itu, kini telah terdengar. Harapannya saat ini hanya satu, di akhir
hidupnya ia bisa memberikan derma cinta untuk Cecep.
Derma
: sesuatu yang mulia yang dilakukan dengan tulus ikhlas dan tanpa pamrih
Bandung 7 September 2012
*Dibukukan dalam buku antologi "Kelindan Cinta"